-->

Jika Tidak Dilakukan Nabi, Maka Haram. Benarkah?

Jika Tidak Dilakukan Nabi, Maka Haram. Benarkah? berikut kami sajikan jawaban dari pertanyaan pada judul artikel ini, jawaban ini diambil dari Buku 37 Masalah Populer karangan Ustadz Abdul Somad.

Yang selalu dijadikan dalil mendukung argumen ini adalah kaedah:
الترك يقتضي التحريم
“Perkara yang ditinggalkan/tidak dilakukan Rasulullah Saw, berarti mengandung makna haram”.
Tidak ada satu pun kitab Ushul Fiqh maupun kitab Fiqh memuat kaedah seperti ini. Kaedah ini hanya buatan sebagian orang saja.
Untuk menguji kekuatan kaedah ini, mari kita lihat beberapa contoh dari hadits-hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw tidak melakukan suatu perbuatan, namun tidak selamanya karena perbuatan itu haram, tapi karena beberapa sebab:

Pertama, karena kebiasaan. Contoh:
عَنْ خَالِدِ بْنِ ا لوَلِيدِ قَالَ أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِضَ بٍ مَشْوِ ي فَأهَْوَى إِلَيْهِ لِيَأْكُلَ فَقِيلَ لَهُ إِنَّهُ ضَبٌّ فَأمَْسَكَ يَدَهُ فَقَالَ خَالِدٌ
أَحَرَامٌ هُوَ قَالَ لَا وَلَكِنَّهُ لَا يَكُونُ بِأرَْضِ قَوْمِي فَأجَِدُنِي أَعَافُهُ فَأكََلَ خَالِدٌ وَرَسُولُ اللََِّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَنْظُرُ
Dari Khalid bin al-Walid, ia berkata, “Rasulullah Saw diberi Dhab (biawak Arab) yang dipanggang untuk dimakan. Lalu dikatakan kepada Rasulullah Saw, “Ini adalah Dhab”. Rasulullah Saw menahan tangannya.

Khalid bertanya, “Apakah Dhab haram?”.
Rasulullah Saw menjawab, “Tidak, tapi karena Dhab tidak ada di negeri kaumku. Maka aku merasa tidak suka”. Khalid memakan Dhab itu, sedangkan Rasulullah Saw melihatnya”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Apakah karena Rasulullah Saw tidak memakannya maka Dhab menjadi haram!? Dhab tidak haram. Rasulullah Saw tidak memakannya karena makan Dhab bukan kebiasaan di negeri tempat tinggal Rasulullah Saw.
Kedua, khawatir akan memberatkan ummatnya. Contoh:
عَنْ عَائِشَة أَنَّ رَسُولَ اللََِّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْمَسْجِدِ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَصَلَّى بِصَلَاتِهِ نَاسٌ ثمَُّ صَلَّى مِنْ الْقَابِلَةِ فَكَثرَُ النَّاسُ
ثُمَّ اجْتَمَعُوا مِنْ اللَّيْلَةِ الثاَّلِثَةِ أَوْ الرَّابِع ةِ فَلَمْ يَخْرُ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللََِّّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا أصَْبَحَ قَالَ قَدْ رَأَيْتُ الَّذِ ي صَنَعْتمُْ
فَلَمْ يَمْنَعْنِي مِنْ الْخُرُو إِلَيْكُمْ إِلَّا أنَ ي خَشِيتُ أَنْ تُعْرَضَ عَلَيْكُمْ قَالَ وَذَلِكَ فِي رَمَضَانَ
Dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah Saw shalat di Masjid pada suatu malam, lalu orang banyak ikut shalat bersama beliau. Pada malam berikutnya orang banyak mengikuti beliau. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau malam keempat, Rasulullah Saw tidak keluar rumah. Pada waktu paginya, Rasulullah Saw berkata, “Aku telah melihat apa yang kalian lakukan. Tidak ada yang mencegahku untuk keluar rumah menemui kalian, hanya saja aku khawatir ia diwajibkan bagi kalian”. Itu terjadi di bulan Ramadhan. (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Rasulullah Swt tidak ke masjid setiap malam, apakah perbuatan ke masjid setiap malam itu haram?! Tentu saja tidak haram.

Mengapa Rasulullah Saw tidak melakukannya?!

Bukan karena perbuatan itu haram, tapi karena khawatir memberatkan ummat Islam.
Contoh lain:
لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِال سوَاكِ مَاَ كُ ل صَلَاةٍ

“Kalaulah tidak memberatkan bagi ummatku, atau bagi manusia, pastilah aku perintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali shalat”. (HR. al-Bukhari).

Ketiga, tidak terlintas di fikiran Rasulullah Saw. Contoh:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللََّّ أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللََِّّ أَلَا أَجْعَلُ لَكَ شَيْئًا تَقْعُدُ عَلَيْهِ فَإِنَّ لِي غُلَامًا نَجَّارًا
قَالَ إِنْ شِئ تِ فَعَمِلَتْ الْمِنْبَرَ
Dari Jabir bin Abdillah, ada seorang perempuan berkata, “Wahai Rasulullah, sudikah aku buatkan untuk engkau sesuatu? engkau duduk di atasnya. Sesungguhnya aku mempunyai seorang hamba sahaya tukang kayu”.

Rasulullah Saw menjawab, “Jika engkau mau”.
Perempuan itu membuatkan mimbar. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah Saw tidak membuat mimbar, bukan berarti mimbar itu haram. Tapi karena tidak terlintas untuk membuat mimbar, sampai perempuan itu menawarkan mimbar. Lalu apakah karena Rasulullah Saw tidak membuatnya, maka mimbar menjadi haram?! Tentu saja tidak.

Keempat, karena Rasulullah Saw lupa. Contoh:
قَالَ عَبْدُ اللََّّ صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لَا أَدْرِي زَادَ أَوْ نَقَصَ فَلَمَّا سَلَّمَ قِيلَ لَهُ يَا رَسُولَ اللََِّّ أَحَدَثَ فِي الصَّلَاةِ
شَيْءٌ قَالَ وَمَا ذَاكَ قَالُوا صَلَّيْتَ كَذَا وَكَذَا فَثَن ى رِجْلَيْهِ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ وَسَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ فَلَمَّا أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ قَالَ إِن هُ لَوْ
حَدَثَ فِي الصَّلَاةِ شَيْءٌ لَنَبَّأتْكُُمْ بِهِ وَلَكِنْ إِنَّمَا أنََا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أنَْسَى كَمَا تنَْسَوْنَ فَإِذ ا نَسِيتُ فَذَ كرُونِي
Abdullah bin Mas’ud berkata, “Rasulullah Saw melaksanakan shalat. Ibrahim berkata, ‘Saya tidak mengetahui apakah rakaat berlebih atau kurang. Ketika shalat telah selesai. Dikatakan kepada Rasulullah, “Apakah telah terjadi sesuatu dalam shalat?”.
Rasulullah Saw kembali bertanya, “Apakah itu?”.
Mereka menjawab, “Engkau telah melakukan anu dan anu”.
Kemudian Rasulullah Saw menekuk kedua kakinya dan kembali menghadap kiblat, beliau sujud dua kali. Kemudian salam. Ketika Rasulullah Saw menghadapkan wajahnya kepada kami, ia berkata, “Jika terjadi sesuatu dalam shalat, pastilah aku beritahukan kepada kamu. Tapi aku hanyalah manusia biasa, sama seperti kamu. Aku juga lupa, sama seperti kamu. Jika aku terlupa, maka ingatkanlah aku”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Rasulullah Saw tidak melakukan, bukan karena haram. Tapi karena beliau lupa.
Kelima, karena khawatir orang Arab tidak dapat menerima perbuatan Rasulullah Saw. Contoh:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللََُّّ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللََّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا يَا عَائِشَةُ لَوْلَا أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ لَأَمَرْتُ بِالْبَيْتِ
فَهُدِمَ فَأدَْخَلْتُ فِيهِ مَا أُخْرِ مِنْهُ وَألَْزَقْتُهُ بِالْأرَْضِ وَجَعَلْتُ لَهُ بَابَيْنِ بَابًا شَرْقِيًّا وَبَاب ا غَرْب يًّا فَبَلَغْتُ بِهِ أَسَاسَ إِبْرَاهِيم
Dari Aisyah, sesungguhnya Rasulullah Saw berkata kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, kalaulah bukan karena kaummu baru saja meninggalkan masa jahiliyah, pastilah aku perintahkan merenofasi Ka’bah. Aku akan masukkan ke dalamnya apa yang telah dikeluarkan darinya. Aku akan menempelkannya ke tanah. Aku buat dua pintu, satu di timur dan satu di barat, dengan itu aku sampaikan dasar Ibrahim”. (HR. al-Bukhari).

Rasululllah Saw tidak melakukan renofasi itu, bukan berarti haram. Tapi karena tidak ingin orang-orang Arab berbalik arah, tidak dapat menerima perbuatan Rasulullah Saw, karena mereka baru saja masuk Islam, hati mereka masih terikat dengan masa jahiliyah.
Keenam, karena termasuk dalam makna ayat yang bersifat umum,
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تعُْلِحُونَ
“Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”. (Qs. al-Hajj [22]: 77).

Rasulullah Saw tidak melakukannya, bukan berarti haram. Tapi masuk dalam kategori kebaikan yang bersifat umum. Jika perbuatan itu sesuai Sunnah, maka bid’ah hasanah. Jika bertentangan dengan Sunnah, maka bid’ah dhalalah.

“Jika Tidak Dilakukan Rasulullah Saw, Maka Haram”. Adakah Kaedah Ini?
Inilah yang dijadikan kaedah membuat orang mengharamkan yang tidak haram. Membid’ahkan yang tidak bid’ah.

Adakah kaedah seperti ini dalam Ilmu Ushul Fiqh?
Pertama, kaedah haram ada tiga:
a. Nahy (larangan/kalimat langsung), contoh: [وَلَا تَقْرَبُوا ال زنَا ] “Dan janganlah kamu mendekati zina”. (Qs. al-Isra’ [17]: 32).
b. Nafy (larangan/kalimat tidak langsung), contoh: [وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ] “dan janganlah menggunjingkan satu sama lain”. (Qs. al-Hujurat [49]: 12).
c. Wa’id (ancaman keras), contoh: [وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ] “Siapa yang menipu kami, maka bukanlah bagian dari golongan kami”. (HR. Muslim).
Sedangkan at-Tark (perbuatan yang ditinggalkan/tidak dilakukan Rasulullah Saw), tidak satu pun ahli Ushul Fiqh menggolongkannya ke dalam kaedah haram.
Kedua, yang diperintahkan Rasulullah Saw, lakukanlah. Yang dilarang Rasulullah Saw, tinggalkanlah. Ini berdasarkan ayat, [ وَمَا آتَاَكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْه فَانْتَهُوا ]
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”. (Qs. al-Hasyr [59]: 7).
Tidak ada kaedah tambahan, “Yang ditinggalkan Rasulullah Saw, maka haram”.
Ketiga, “Yang aku perintahkan, laksanakanlah. Yang aku larang, tinggalkanlah”.
Ini berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah, [ مَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَيْتكُُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ].
Tidak ada kalimat tambahan, “Yang tidak aku lakukan, haramkanlah!”.

Keempat, ulama Ushul Fiqh mendefinisikan Sunnah adalah:
السنة عند الأصوليين ما صدر عن النبي صلى الله عليه وسلم غير القرآن من قول أو فعل أو تقرير ، مما يصلح أن يكون
دليلاً على حكم شرعي .
Sunnah menurut para ahli Ushul Fiqh adalah: ucapan, perbuatan dan ketetapan yang berasal dari Rasulullah Saw, layak dijadikan sebagai dalil hukum syar’i.
Hanya ada tiga: Qaul (Ucapan), fi’l (Perbuatan) dan Taqrir (Ketetapan).

Tidak ada disebutkan at-Tark (perkara yang ditinggalkan/tidak dilakukan Rasulullah Saw). Maka at-Tark tidak termasuk dalil penetapan hukum syar’i.

Kelima, at-Tark (perkara yang ditinggalkan/tidak dilakukan Rasulullah Saw)
tidak selamanya mengandung makna larangan, tapi mengandung multi makna.
Dalam kaedah Ushul Fiqh dinyatakan: [أن ما دخله الإحتمال سقط به الاستدلال ]
Jika dalil itu mengandung ihtimal (banyak kemungkinan/ketidakpastian), maka tidak layak dijadikan sebagai dalil.

Keenam, at-Tark (perkara yang ditinggalkan/tidak dilakukan Rasulullah Saw), itu adalah asal. Hukum asalnya tidak ada suatu perbuatan pun. Sedangkan perbuatan itu datang belakangan. Maka at-Tark tidak dapat disebut bisa menetapkan hukum haram. Karena banyak sekali perkara mandub (anjuran) dan perkara mubah (boleh) yang tidak pernah dilakukan Rasulullah Saw. Jika dikatakan bahwa semua yang tidak dilakukan Rasulullah Saw itu mengandung hukum haram, maka terhentilah kehidupan kaum muslimin.

Jalan keluarnya, Rasulullah Saw bersabda,
ما أحل الله في كتابه فهو حلال وما حرم فهو حرام وما سكت عنه فهو ععو فاقبلوا من الله عافيته فان الله لم يكن ينسى شيئا
ثم تلا هذه الآية وما كان ربك نسيا
“Apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, maka itu halal. Apa yang Ia haramkan, maka itu haram. Apa yang didiamkan (tidak disebutkan), maka itu adalah kebaikan Allah. Maka terimalah kebaikan-Nya. Sesungguhnya Allah tidak pernah lupa terhadap sesuatu”. Kemudian Rasulullah Saw membacakan ayat, “dan tidaklah Tuhanmu lupa.”. (Qs. Maryam [19]: 64).

Komentar al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani terhadap hadits ini,
أخرجه البزار وقال سنده صالح وصححه الحاكم
Disebutkan oleh Imam al-Bazzar dalam kitabnya, ia berkata, “Sanadnya shalih”. Dinyatakan shahih oleh Imam al-Hakim.

Ini menunjukkan bahwa yang tidak disebutkan Allah Swt dan tidak dilakukan Rasulullah Saw bukan berarti mengandung makna haram, tapi mengandung makna boleh, hingga ada dalil lain yang mengharamkannya. Dengan demikian, maka batallah kaedah:
الترك يقتضي التحريم
“at-Tark: perkara yang ditinggalkan/tidak dilakukan Rasulullah Saw, berarti mengandung makna haram”.

Baca dan fikirkan baik-baik!
Oleh sebab itu banyak sekali perbuatan-perbuatan yang tidak dilakukan Rasulullah Saw, tapi dilakukan shahabat, dan Rasulullah Saw tidak melarangnya, bahkan memujinya. Berikut contoh-contohnya:
Rasulullah Saw Membenarkan Perbuatan Shahabat,
Padahal Rasulullah Saw Tidak Pernah Melakukannya.
Ada beberapa perbuatan yang tidak pernah dilakukan Rasulullah Saw, tidak pernah beliau ucapkan dan tidak pernah beliau ajarkan. Tapi dilakukan oleh shahabat, Rasulullah Saw membenarkannya. Diantaranya adalah:

Shalat Dua Rakaat Setelah Wudhu’.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللََُّّ عَنْه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللََُّّ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلَالٍ عِنْدَ صَلَاةِ الْعَجْرِ يَا بِلَالُ حَدِ ثْنِي بِأرَْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي
الْإِ سْلَامِ فَإِن ي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ قَالَ مَا عَمِلْتُ عَمَلًا أرَْجَى عِنْدِي أَن ي لَمْ أَتطََهَّرْ طَهُورًا فِي سَاعَةِ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ
إِلَّا صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطُّهُورِ مَا كُتِبَ لِي أَنْ أصَُلِ يَ
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw berkata kepada Bilal pada shalat Shubuh, “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amal yang paling engkau harapkan yang telah engkau amalkan dalam Islam? Karena aku mendengar suara gesekan sandalmu di depanku di dalam surga”.
Bilal menjawab, “Aku tidak pernah melakukan amal yang paling aku harapkan, hanya saja aku tidak pernah bersuci (wudhu’) dalam satu saat di waktu malam atau siang, melainkan aku shalat dengan itu (shalat sunnat Wudhu’), shalat yang telah ditetapkan bagiku”. (HR. al-Bukhari).

Apakah Rasulullah Saw pernah melaksanakan shalat sunnat setelah wudhu’? tentu tidak pernah, karena tidak ada hadits menyebut Rasulullah Saw pernah melakukan, mengucapkan atau mengajarkan shalat sunnat dua rakaat setelah wudhu’. Jika demikian maka shalat sunnat setelah wudhu’ itu bid’ah, karena Rasulullah Saw tidak pernah melakukannya. Ini menunjukkan bahwa shalat sunnat dua rakaat setelah wudhu’ itu bid’ah hasanah.

Jika ada yang mengatakan bahwa ini sunnah taqririyyah, memang benar. Tapi ia menjadi sunnah taqririyyah setelah Rasulullah Saw membenarkannya. Sebelum Rasulullah Saw membenarkannya, ia tetaplah bid’ah, amal yang dibuat-buat oleh Bilal. Mengapa Bilal tidak merasa berat melakukannya? Mengapa Bilal tidak mengkonsultasikannya kepada Rasulullah Saw sebelum melakukanya? Andai Rasulullah Saw tidak bertanya kepada Bilal, tentulah Bilal melakukannya seumur hidupnya tanpa mengetahui apa pendapat Rasulullah Saw tentang shalat dua rakaat setelah wudhu’ itu. Maka jelaslah bahwa shalat setelah wudhu’ itu bid’ah hasanah sebelum diakui Rasulullah Saw. Setelah mendapatkan pengakuan Rasulullah Saw, maka ia berubah menjadi sunnah taqririyyah. Fahamilah dengan baik!

0 Response to "Jika Tidak Dilakukan Nabi, Maka Haram. Benarkah?"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel